“Kak,
ojek payung, Kak?”
Aku hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala ketika mendengar tawaran gadis kecil itu. Senyum yang awalnya menghiasi wajahnya, langsung hilang ketika mengetahui jawabanku. Dengan bajunya yang basah kuyup, ia pergi menerobos hujan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Payung yang sejak tadi ditentengnya sama sekali tidak ia gunakan. Gadis kecil itu malah memeluk payung merah jambunya seakan tidak rela jika benda itu basah. Ia membiarkan air hujan turun membasahi badannya yang mungil. Aku terus memperhatikannya hingga akhirnya gadis kecil itu tidak terlihat lagi, seakan-akan lenyap ditelan derasnya hujan.
Hujan. Hujan selalu berhasil membuatku mengingat tentang dirinya. Tunggu sebentar, sepertinya ada yang harus ku ralat. Hujan tidak mengingatkanku pada dirinya. Hujan mengingatkanku pada kenangan-kenangan yang ku lalui bersamanya. Kami pernah berjalan berdua di bawah sebuah payung berwana merah jambu sambil mengobrolkan hal-hal yang tidak penting. Menempel satu sama lain agar hujan tidak mengenai tubuh kami. Namun, kami juga pernah berlarian di tengah hujan, membiarkan air hujan membasahi tubuh kami.
“Lumi!”
Tanpa
aku sadari, sebuah mobil berwarna merah kini berhenti tepat di hadapanku. Kaca
mobil itu terbuka dan memperlihatkan seorang laki-laki yang mengenakan kemeja
putih di balik jaket birunya. Seperti biasa, kacamata minus bertengger di
hidung mancungnya. Memang ia tidak setampan Afgan, tapi menurutku ia adalah
laki-laki yang paling istimewa setelah ayahku. Laki-laki itu. Laki-laki yang
sedari tadi ada di pikiranku. Senyumku langsung mengembang ketika melihat wajah
yang sudah lama ku rindukan.
“Iya,
bentar.” Tanpa memperdulikan hujan yang masih turun aku langsung berlari untuk
masuk ke mobil.
“Duh,
kamu gak bawa payung? Kebiasaan deh.” Tanyanya sambil berdecak kesal ketika
melihatku masuk mobil dengan rambut dan baju yang cukup basah.
Aku
hanya tertawa kecil mendengar omelannya itu, lalu mengeluarkan sebuah benda
berwarna merah jambu dari tasku. “Kata siapa aku gak bawa? Nih, aku bawa.”
“Kalo
dibawa kenapa gak dibuka payungnya?”
“Sayang
payungnya nanti basah, lagian juga kan cuma jalan ke mobil aja.”
“Lebih
sayang sama payungnya, ya, daripada diri kamu sendiri?”
“Ih,
bukan gitu, Vin.”
“Yaudah,
nih, lap dulu muka sama rambut kamu.” Alvin mengeluarkan saputangan warna
hitamnya dari saku celana bahannya.
Aku
tersenyum ketika mendengar perkataannya. Ia masih sama seperti dulu. Seperti
Alvin yang pertama kali ku temui di kampus. Ia masih menjadi Alvin yang
perhatian. Alvin yang mengagumkan. Dan juga Alvin yang berhasil membuatku
bertahan selama empat tahun dengan embel-embel sahabat. Tak dapat dipungkiri,
terkadang aku juga berharap lebih dari persahabatan kami. Ya, aku mencintainya.
Entah sejak kapan perasaan ini muncul. Namun, aku terlalu takut untuk jujur
kepadanya. Aku takut persahabatan kami akan hancur. Aku takut tak dapat
melihatnya lagi. Lagipula, tidak cocok jika Alvin bersama dengan wanita biasa
seperti aku. Oleh karena itu, sekarang aku cukup puas menjadi sahabatnya.
Menjadi orang yang selalu ada di dekatnya dan mengaguminya dalam diam.
“Hey,
kamu kenapa malah bengong? Ini sapu tangannya.”
Aku
pun mengambil sapu tangan itu dan mulai mengelap wajahku yang terkena air
hujan. Wangi parfumnya langsung tercium ketika sapu tangan itu terkena
hidungku. “Tadi berangkat jam berapa dari Bandung?”
“Abis
zuhur aku langsung jalan, kira-kira
jam 1an.”
“Sok
sibuk banget, sih, kamu. Kemaren abis dari Palembang, eh tadi udah di Bandung
aja tau-taunya. Susah banget kayanya kalo mau ketemu kamu.”
“Yah,
namanya juga bos.” Jawabnya sambil tertawa dan mulai menjalankan mobilnya.
Aku
langsung mengerutkan kening ketika mendengar jawabannya, lalu mendorong pelan
bahunya. “Ih, sombong.”
“Kan
aku cuma bilang, Luminara, bukannya mau sombong.” Ujarnya sambil
mengacak-ngacak rambutku yang basah. “Skripsi kamu apa kabar?”
“Ya
ampun, Vin, sebulan gak ketemu masa yang ditanya kabarnya skripsi?”
“Kamu
kebanyakan baca komik sih, jadi gak kelar-kelar skripsinya.”
“Iya-iya
aku udah ngurangin baca komik, kok.”
“Yaudah,
berati sekarang kita gak usah ke toko buku, ya?”
“Yah,
kok gitu? Kamu kan udah janji mau nganterin aku ke toko buku, aku udah lama gak
beli komik, nih.” Aku menatapnya dengan wajah cemberut.
Seminggu
yang lalu, ketika kami membuat janji untuk bertemu lewat telpon, dia berkata
akan mengantarkanku ke toko buku langganan kami. Toko buku yang selalu kami
datangi berdua sebelum ia sibuk seperti sekarang. Kami biasa menghabiskan waktu
berjam-jam di toko itu. Namun, biasanya kami hanya numpang membaca tanpa
membeli apapun. Aku membaca komik, sementara Alvin membaca buku-buku teori
untuk materi di kampus.
Laki-laki
itu langsung tesenyum ketika melihat reaksiku. “Iya-iya, kita tetep ke toko
buku. Tapi kamu jangan kebanyakan baca komik lagi, ya. Masa aku udah setaun
lulus, kamu belum lulus-lulus juga.”
“Aku
kan beda sama kamu, Vin. Kamu mah pinter, anak kesayangannya dosen-dosen, lah
aku mah dapet nilai C aja udah alhamdulillah.”
“Kamu
tuh, yah, ada aja alesannya.”
Aku
hanya tertawa mendengar ucapannya sambil melihat ke luar jendela. Hujan kini
sudah reda. Meninggalkan gerimis yang sepertinya akan turun sepanjang senja.
Hari baru pukul 5, tetapi keadaan sudah cukup gelap. Beberapa lampu di jalanan
bahkan sudah dinyalahkan. Tiba-tiba saja pandanganku tertuju pada sebuah metromini
yang terlihat penuh. Cukup banyak orang yang berdiri di dalam metromini itu.
Bahkan, ada seorang bapak-bapak yang berdiri di dekat pintu masuk.
“Vin, kapan-kapan kita naik metromini bareng,
yuk?”
“Ngapain?”
“Nostalgia
jaman dulu pas kita suka naik metromini.”
“Gak
mau ah, nanti kamu ngira aku pencopet lagi kaya dulu.”
Aku
tertawa mendengar jawabannya. Aku masih ingat kejadian itu. Pertemuan pertamaku
dengan Alvin. Ya, aku pertama kali bertemu dengannya di bus berwarna orange
itu. Kejadiannya cukup lucu, entah mengapa aku mengira Alvin adalah pencopet.
Setelah penjelasannya yang cukup panjang, akhirnya aku mempercayainya dan kami
pun berkenalan. Aku dan Alvin menjadi cukup dekat karna ternyata kami kuliah di
kampus yang sama dan selalu bertemu di metromini ketika pulang. Kebetulan yang
indah. “Kamu masih dendam, ya, sama aku?”
“Lagian
tau-tau aku dibilang copet, terus dipukul pake tas.”
“Iya-iya
maaf, deh. Dimaafin gak nih?”
“Hemmm..”
Gumamnya pelan. “Gak kerasa, ya, kita udah empat tahun temenan.” Ujar Alvin
sambil membenarkan posisi kacamatanya yang turun.
“Iya,
dari kita ke toko buku naik metromini, sampe sekarang ke toko bukunya naik
mobil kamu.”
“Tapi,
kok, skripsi kamu gak kelar-kelar, ya?”
Aku
mencubit pelan perutnya sambil menatapnya kesal. “Alvin! Kamu suka banget
ngeledekin aku, sih?”
“Yee,
kamunya aja yang baperan!” ujarnya sambil memegang tanganku dengan tangan
kirinya, menahan agar aku tidak mencubitnya lagi.
Jantungku
langsung berdetak kencang ketika Alvin memegang tanganku. Kupu-kupu di perutku
langsung berterbangan kesana kemari. Memang ini bukan pertama kalinya, tapi
tetap saja itu menjadi salah satu hal yg istimewa untukku. Aku hanya diam,
merasakan kehangatan tangannya yang kini menjalar ke tanganku yang dingin tanpa
berusaha melepaskan tangan hangat itu.
“Lumi,
kok tangan kamu dingin sih?”
Aku
langsung menarik tanganku ketika Alvin menggenggamnya lebih erat sambil
mengelusnya pelan. Jantungku sekarang sepertinya sudah meledak karna tingkah
lakunya itu. “A.. aku... aku kedinginan soalnya baju aku sedikit basah.”
“Kamu
tuh kalo kenapa-kenapa bilang sama aku, jangan diem-diem aja.” Ujarnya kesal
sambil berusaha membuka jaketnya dalam keadaan menyetir. Kini ia hanya
menggunakan kemeja putihnya yang sudah sedikit kusut. “Nih, pake jaket aku.”
Tanpa
berkata apa-apa aku pun langsung memakai jaket biru tua miliknya sambil bertanya-tanya
dalam hati. Kenapa dia melakukan itu? Kenapa dia sangat perhatian padaku? Tidak
sadarkah dia kalau perhatiannya itu kadang membuatku berpikir jika dia
mempunyai perasaan lebih kepadaku? Atau memang benar diam-diam ia memiliki
perasaan yang sama terhadapku?
“Vin,
aku mau nanya sesuatu.” Entah darimana keberanian itu muncul. Tiba-tiba saja
mulutku berkata seperti itu.
“Yaudah
tanya aja,”
Aku
hanya terdiam setelah mendengar perkataannya itu. Menimbang-nimbang kembali,
apakah keputusanku tepat untuk menanyakan perasaannya kepadaku. Keraguan
meliputi diriku. Aku takut ia malah menghindar dariku setelah aku menanyakan
hal itu. Setelah menarik nafas panjang, aku pun memutuskan untuk melanjutkan
pertanyaanku padanya. “Vin, ka-”
“Ya
ampun, aku lupa mesti ngambil dokumen dulu ke kantor.” Ujarnya sambil menggaruk
kepalanya yang tidak gatal itu. “Gak papa kan kita ke kantor aku dulu bentar?”
Ia melihat ke arahku untuk meminta persetujuan.
“I-iya,”
jawabku menganggukkan kepalaku pelan.
Mungkin
ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan hal itu padanya. Mungkin besok atau
lusa atau bulan depan aku akan berhasil bertanya padanya. Atau... bisa saja ia
yang akan menanyaiku terlebih dahulu. Sampai saat itu tiba, aku akan terus
seperti ini. Selalu ada di sampingnya dan mengaguminya dalam diam.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar