Jumat, 20 Oktober 2017

Dalam Diam [Cerpen]

“Kak, ojek payung, Kak?”

Aku hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala ketika mendengar tawaran gadis kecil itu. Senyum yang awalnya menghiasi wajahnya, langsung hilang ketika mengetahui jawabanku. Dengan bajunya yang basah kuyup, ia pergi menerobos hujan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Payung yang sejak tadi ditentengnya sama sekali tidak ia gunakan. Gadis kecil itu malah memeluk payung merah jambunya seakan tidak rela jika benda itu basah. Ia membiarkan air hujan turun membasahi badannya yang mungil. Aku terus memperhatikannya hingga akhirnya gadis kecil itu tidak terlihat lagi, seakan-akan lenyap ditelan derasnya hujan.


Hujan. Hujan selalu berhasil membuatku mengingat tentang dirinya. Tunggu sebentar, sepertinya ada yang harus ku ralat. Hujan tidak mengingatkanku pada dirinya. Hujan mengingatkanku pada kenangan-kenangan yang ku lalui bersamanya. Kami pernah berjalan berdua di bawah sebuah payung berwana merah jambu sambil mengobrolkan hal-hal yang tidak penting. Menempel satu sama lain agar hujan tidak mengenai tubuh kami. Namun, kami juga pernah berlarian di tengah hujan, membiarkan air hujan membasahi tubuh kami.

“Lumi!”

Tanpa aku sadari, sebuah mobil berwarna merah kini berhenti tepat di hadapanku. Kaca mobil itu terbuka dan memperlihatkan seorang laki-laki yang mengenakan kemeja putih di balik jaket birunya. Seperti biasa, kacamata minus bertengger di hidung mancungnya. Memang ia tidak setampan Afgan, tapi menurutku ia adalah laki-laki yang paling istimewa setelah ayahku. Laki-laki itu. Laki-laki yang sedari tadi ada di pikiranku. Senyumku langsung mengembang ketika melihat wajah yang sudah lama ku rindukan.

“Iya, bentar.” Tanpa memperdulikan hujan yang masih turun aku langsung berlari untuk masuk ke mobil.

“Duh, kamu gak bawa payung? Kebiasaan deh.” Tanyanya sambil berdecak kesal ketika melihatku masuk mobil dengan rambut dan baju yang cukup basah.

Aku hanya tertawa kecil mendengar omelannya itu, lalu mengeluarkan sebuah benda berwarna merah jambu dari tasku. “Kata siapa aku gak bawa? Nih, aku bawa.”

“Kalo dibawa kenapa gak dibuka payungnya?”

“Sayang payungnya nanti basah, lagian juga kan cuma jalan ke mobil aja.”

“Lebih sayang sama payungnya, ya, daripada diri kamu sendiri?”

“Ih, bukan gitu, Vin.”

“Yaudah, nih, lap dulu muka sama rambut kamu.” Alvin mengeluarkan saputangan warna hitamnya dari saku celana bahannya.

Aku tersenyum ketika mendengar perkataannya. Ia masih sama seperti dulu. Seperti Alvin yang pertama kali ku temui di kampus. Ia masih menjadi Alvin yang perhatian. Alvin yang mengagumkan. Dan juga Alvin yang berhasil membuatku bertahan selama empat tahun dengan embel-embel sahabat. Tak dapat dipungkiri, terkadang aku juga berharap lebih dari persahabatan kami. Ya, aku mencintainya. Entah sejak kapan perasaan ini muncul. Namun, aku terlalu takut untuk jujur kepadanya. Aku takut persahabatan kami akan hancur. Aku takut tak dapat melihatnya lagi. Lagipula, tidak cocok jika Alvin bersama dengan wanita biasa seperti aku. Oleh karena itu, sekarang aku cukup puas menjadi sahabatnya. Menjadi orang yang selalu ada di dekatnya dan mengaguminya dalam diam.

“Hey, kamu kenapa malah bengong? Ini sapu tangannya.”

Aku pun mengambil sapu tangan itu dan mulai mengelap wajahku yang terkena air hujan. Wangi parfumnya langsung tercium ketika sapu tangan itu terkena hidungku. “Tadi berangkat jam berapa dari Bandung?”

“Abis zuhur aku langsung jalan, kira-kira jam 1an.”

“Sok sibuk banget, sih, kamu. Kemaren abis dari Palembang, eh tadi udah di Bandung aja tau-taunya. Susah banget kayanya kalo mau ketemu kamu.”

“Yah, namanya juga bos.” Jawabnya sambil tertawa dan mulai menjalankan mobilnya.

Aku langsung mengerutkan kening ketika mendengar jawabannya, lalu mendorong pelan bahunya. “Ih, sombong.”

“Kan aku cuma bilang, Luminara, bukannya mau sombong.” Ujarnya sambil mengacak-ngacak rambutku yang basah. “Skripsi kamu apa kabar?”

“Ya ampun, Vin, sebulan gak ketemu masa yang ditanya kabarnya skripsi?”

“Kamu kebanyakan baca komik sih, jadi gak kelar-kelar skripsinya.”

“Iya-iya aku udah ngurangin baca komik, kok.”

“Yaudah, berati sekarang kita gak usah ke toko buku, ya?”

“Yah, kok gitu? Kamu kan udah janji mau nganterin aku ke toko buku, aku udah lama gak beli komik, nih.” Aku menatapnya dengan wajah cemberut.

Seminggu yang lalu, ketika kami membuat janji untuk bertemu lewat telpon, dia berkata akan mengantarkanku ke toko buku langganan kami. Toko buku yang selalu kami datangi berdua sebelum ia sibuk seperti sekarang. Kami biasa menghabiskan waktu berjam-jam di toko itu. Namun, biasanya kami hanya numpang membaca tanpa membeli apapun. Aku membaca komik, sementara Alvin membaca buku-buku teori untuk materi di kampus.

Laki-laki itu langsung tesenyum ketika melihat reaksiku. “Iya-iya, kita tetep ke toko buku. Tapi kamu jangan kebanyakan baca komik lagi, ya. Masa aku udah setaun lulus, kamu belum lulus-lulus juga.”

“Aku kan beda sama kamu, Vin. Kamu mah pinter, anak kesayangannya dosen-dosen, lah aku mah dapet nilai C aja udah alhamdulillah.”

“Kamu tuh, yah, ada aja alesannya.”

Aku hanya tertawa mendengar ucapannya sambil melihat ke luar jendela. Hujan kini sudah reda. Meninggalkan gerimis yang sepertinya akan turun sepanjang senja. Hari baru pukul 5, tetapi keadaan sudah cukup gelap. Beberapa lampu di jalanan bahkan sudah dinyalahkan. Tiba-tiba saja pandanganku tertuju pada sebuah metromini yang terlihat penuh. Cukup banyak orang yang berdiri di dalam metromini itu. Bahkan, ada seorang bapak-bapak yang berdiri di dekat pintu masuk.

 “Vin, kapan-kapan kita naik metromini bareng, yuk?”

“Ngapain?”

“Nostalgia jaman dulu pas kita suka naik metromini.”

“Gak mau ah, nanti kamu ngira aku pencopet lagi kaya dulu.”

Aku tertawa mendengar jawabannya. Aku masih ingat kejadian itu. Pertemuan pertamaku dengan Alvin. Ya, aku pertama kali bertemu dengannya di bus berwarna orange itu. Kejadiannya cukup lucu, entah mengapa aku mengira Alvin adalah pencopet. Setelah penjelasannya yang cukup panjang, akhirnya aku mempercayainya dan kami pun berkenalan. Aku dan Alvin menjadi cukup dekat karna ternyata kami kuliah di kampus yang sama dan selalu bertemu di metromini ketika pulang. Kebetulan yang indah. “Kamu masih dendam, ya, sama aku?”

“Lagian tau-tau aku dibilang copet, terus dipukul pake tas.”

“Iya-iya maaf, deh. Dimaafin gak nih?”

“Hemmm..” Gumamnya pelan. “Gak kerasa, ya, kita udah empat tahun temenan.” Ujar Alvin sambil membenarkan posisi kacamatanya yang turun.

“Iya, dari kita ke toko buku naik metromini, sampe sekarang ke toko bukunya naik mobil kamu.”

“Tapi, kok, skripsi kamu gak kelar-kelar, ya?”

Aku mencubit pelan perutnya sambil menatapnya kesal. “Alvin! Kamu suka banget ngeledekin aku, sih?”

“Yee, kamunya aja yang baperan!” ujarnya sambil memegang tanganku dengan tangan kirinya, menahan agar aku tidak mencubitnya lagi.

Jantungku langsung berdetak kencang ketika Alvin memegang tanganku. Kupu-kupu di perutku langsung berterbangan kesana kemari. Memang ini bukan pertama kalinya, tapi tetap saja itu menjadi salah satu hal yg istimewa untukku. Aku hanya diam, merasakan kehangatan tangannya yang kini menjalar ke tanganku yang dingin tanpa berusaha melepaskan tangan hangat itu.

“Lumi, kok tangan kamu dingin sih?”

Aku langsung menarik tanganku ketika Alvin menggenggamnya lebih erat sambil mengelusnya pelan. Jantungku sekarang sepertinya sudah meledak karna tingkah lakunya itu. “A.. aku... aku kedinginan soalnya baju aku sedikit basah.”

“Kamu tuh kalo kenapa-kenapa bilang sama aku, jangan diem-diem aja.” Ujarnya kesal sambil berusaha membuka jaketnya dalam keadaan menyetir. Kini ia hanya menggunakan kemeja putihnya yang sudah sedikit kusut. “Nih, pake jaket aku.”

Tanpa berkata apa-apa aku pun langsung memakai jaket biru tua miliknya sambil bertanya-tanya dalam hati. Kenapa dia melakukan itu? Kenapa dia sangat perhatian padaku? Tidak sadarkah dia kalau perhatiannya itu kadang membuatku berpikir jika dia mempunyai perasaan lebih kepadaku? Atau memang benar diam-diam ia memiliki perasaan yang sama terhadapku?

“Vin, aku mau nanya sesuatu.” Entah darimana keberanian itu muncul. Tiba-tiba saja mulutku berkata seperti itu.

“Yaudah tanya aja,”

Aku hanya terdiam setelah mendengar perkataannya itu. Menimbang-nimbang kembali, apakah keputusanku tepat untuk menanyakan perasaannya kepadaku. Keraguan meliputi diriku. Aku takut ia malah menghindar dariku setelah aku menanyakan hal itu. Setelah menarik nafas panjang, aku pun memutuskan untuk melanjutkan pertanyaanku padanya. “Vin, ka-”

“Ya ampun, aku lupa mesti ngambil dokumen dulu ke kantor.” Ujarnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. “Gak papa kan kita ke kantor aku dulu bentar?” Ia melihat ke arahku untuk meminta persetujuan.

“I-iya,” jawabku menganggukkan kepalaku pelan.

Mungkin ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan hal itu padanya. Mungkin besok atau lusa atau bulan depan aku akan berhasil bertanya padanya. Atau... bisa saja ia yang akan menanyaiku terlebih dahulu. Sampai saat itu tiba, aku akan terus seperti ini. Selalu ada di sampingnya dan mengaguminya dalam diam.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar