Minggu, 06 November 2016

Cintaku Jauh Di Pulau [Cerpen]

       “Kapan  kau  sampai  disini?”  tanya  seorang  gadis  yang  suaranya  kini  kudengar  di handphoneku.

     Aku tersenyum mendengar pertanyaanya. Terlihat jelas bahwa ia sangat rindu kepadaku karena ia sudah menanyakan hal yang sama selama beberapa kali semenjak aku mengabarkan padanya bahwa aku akan pulang ke tanah kelahiranku, setelah bertahun-tahun aku mengembara untuk mencari ilmu dan bekerja. 


     “Sebentar lagi, kau harus sabar ya menungguku.” Ujarku sambil memandang laut lepas yang ada di sekitarku. Kini sinar bulan sedang menerangi lautan yang gelap ini.

     “Ughhh, kau itu mengatakan sebentar lagi sejak tadi pagi, Al!” ujarnya sambil merenggut. Aku bisa membayangkan wajahnya seperti apa sekarang walaupun kami sudah lama tidak bertemu, pasti sangat lucu. Coba saja aku ada di sebelahnya sekarang, aku pasti sudah mencubit kedua pipinya itu.

     Tawaku meledak ketika mendengarnya ucapannya. “Maafkan aku nona Eldera, aku berkata seperti itu karena aku juga tidak bisa memprediksikan kapan aku sampai disana ” ujarku sambil menahan tawa.

     Terdengar juga suara tawa di handphondku, pasti ia sedang tertawa sekarang karena aku menyebutnya ‘nona’ tadi. “Tapi kan harusnya kau tidak bilang sebentar lagi, Al. Kau tau tidak, aku langsung menunggumu di pinggir pantai sehabis meneleponmu tadi pagi.” Ujarnya setelah berhenti tertawa.

     Aku sedikit termenung mendengar ucapannya, aku tidak menyangka ia akan rela menungguku di pantai padahal belum ada kepastian kapan aku akan sampai disana. “Ya Tuhan! Kau seharusnya tidak menungguku disana El. Kau ke pantai bersama siapa? Jangan bilang kau pergi sendiri?” tanyaku khawatir.

     “Kau ini berlebihan sekali sih Al,” ujarnya sambil tertawa. “Memangnya mengapa jika aku sendirian ke pantai? Lagipula siapa juga yang mau menemaniku?” lanjutnya yang membuatku terdiam. Aku baru ingat, Eldera sekarang tinggal sendirian disana. Kedua orangtuanya sudah lama meninggal, sedangkan kakaknya yang sudah berkeluarga tinggal di rumah yang berbeda.

     Aku menghela nafas panjang. “Kau bisa minta seseorang untuk menemanimu kan?” tanyaku dengan nada berat.

     “Alan, kau tau sendiri aku ini bagaimana. Aku lebih nyaman sendirian kemana-mana, kecuali kau yang menemaniku, aku baru mau” ujarnya sambil tertawa kecil. Sudah kuduga, dia masih seperti Eldera yang dulu. Eldera yang lebih suka menyendiri daripada bersama dengan seseorang yang tidak kenal dekat dengannya.

     “El, kau harus menghilangkan sifatmu itu dan mencari orang lain untuk menjadi temanmu. Coba bayangkan, bagaimana kalau suatu hari nanti aku tidak ada lagi, kau akan dengan siapa?” ujarku serius padanya.

     Aku mendengarnya mendengus kesal. “Apa yang kau bicarakan sih? Kau memangnya ingin pergi kemana? Kau kan sudah berjanji akan selalu menemaniku, Al.” Eldera langsung menghujaniku dengan banyak pertanyaan yang membuatku bingung. Entah aku juga tidak tahu mengapa aku berkata seperti tadi. Aku hanya merasa bahwa aku tidak yakin bisa menemaninya selamanya, ataupun bahkan untuk menemuinya lagi. Itu bukan berarti aku akan meninggalkannya karena ada gadis lain yang aku cintai, tapi jujur saja perasaanku sangat tidak tenang begitu menaiki kapal yang akan membawaku ke tanah kelahiranku ini. Namun, aku berusaha untuk tetap berpikiran positif sejak tadi. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku dapat menemui gadis yang kucintai itu lagi dan menemaninya untuk selamanya. Lagipula sampai saat ini langit terlihat sangat cerah dan tidak ada satupun tanda-tanda badai akan muncul dan menghadang kapal kami.

     “Aku tidak akan kemana-mana, El. Aku... Aku hanya tidak ingin kau selalu sendirian saja selama aku bekerja. Kau tau sendiri kan pekerjaanku ini membuatku pergi dalam waktu yang sangat lama.” Jawabku seadanya karena aku bingung harus berkata apa lagi padanya.

     “Aku akan menunggumu sampai kapan pun, Al. Tidak akan ada satupun orang yang bisa menggantikan dirimu.” Ujarnya yang langsung membuatku tersenyum.

     “Baiklah, aku percaya padamu nona Eldera” ujarku setengah tertawa. “Oh iya, omong-omong kau sudah pulang dari pantai kan?” tanyaku untuk memastikan.

     Kudengar suara tawanya lagi di handphoneku. “Tentu saja belum, Kapten Alan. Aku akan menunggumu disini sampai kau datang.”

     “Ya Tuhan! Aku tidak mau tau, pokoknya kau harus pulang sekarang!” perintahku padanya ketika mendengarnya yang masih menungguku di pantai sejak tadi pagi. Aku khawatir padanya, aku takut ia sakit karena terkena angin pantai sejak pagi dan aku juga takut ada orang yang berniat jahat padanya karena dia sendirian sekarang dan pasti pantai sudah sangat sepi.

     “Ughh, kau benar-benar berlebihan!” ujarnya menggerutu. “Memangnya kenapa sih aku tidak boleh menunggumu di pantai? Kau kan bilang bahwa sebentar lagi kau akan sampai, jadi tanggung jika aku pulang sekarang.” Lanjutnya dengan nada kesal.

     Aku berusaha sabar untuk menghadapinya. “Aku khawatir kau sakit karena terkena angin pantai daritadi, El. Selain itu juga bagaimana jika ada orang yang berniat jahat padamu? Disana pasti kan sudah sangat sepi sekarang dan kau juga sendirian, aku tidak mau kau kenapa-kenapa, El.” Jelasku panjang lebar.

     “Aku tidak apa-apa, Al. Kau tau kan aku ini perempuan yang kuat, lagipula aku dulu kan sempat berlatih karate, jadi aku bisa menjaga diriku.” Bantahnya santai.

     Aku pun akhirnya menyerah dengannya. “Baiklah, kau boleh menungguku di pantai, tapi jika sampai pukul sembilan malam aku belum juga sampai disana, kau harus pulang.” Ujarku menawar.

     “Jam sembilan itu tinggal 30 menit lagi, Al, itu terlalu cepat!” ujarnya tidak terima.

     Aku mendengus kesal. “Tidak ada tawar menawar lagi, pokoknya kau harus pulang jika aku belum juga sampai pada pukul sembilan!”
            
      “Tap-“

    “Kapten-Kapten!” suara teriakan dari belakangku membuatku tidak dapat mendengar suara Eldera dengan jelas. Aku pun menengok ke belakang dan menemukan anak buahku berlari ke arahku dengan wajah yang sangat pucat.

     Aku menatapnya dengan wajah penasaran. “Ada apa? Mengapa kau begitu panik?” tanyaku sambil berusaha menenangkan anak buahku itu.

     “Ba.. Bahan bakar kapal kita bocor dan... dan sebagian isinya tumpah ke dalam laut kapten.” Ujar anak buahku.

     Ucapan anak buahku itu langsung membuatku terkejut dan berpikir. Apakah ini arti perasaan tidak enakku tadi? Apakah benar aku tidak akan dapat menemani bahkan menemui Eldera lagi?

     “Kapten mengapa anda malah melamun?” tanya anak buahku heran.

     “Baiklah ayo kita ke ruang mesin” ujarku sambil setengah berlari ke ruangan mesin. Dalam perjalanan menuju ruang mesin aku langsung menutup telpon dari Eldera tanpa berkata apa-apa lagi, lalu memasukan handphoneku ke dalam saku celana. Aku yakin Eldera pasti kebingungan di sana karena aku tiba-tiba saja menutup teleponnya. Maafkan aku, Eldera.

     Sesampainya di ruangan mesin, aku sangat terkejut karena api sudah berkobar dimana-mana. Semua anak buahku berada di ruangan tersebut berusaha memadamkan api dengan persedian air yang kami bawa, karena kami tidak mungkin mengambil air dari laut yang sudah terkena bahan bakar.

     “Bagaimana ini bisa terjadi?” teriakku kepada semua orang yang ada di ruangan itu.

     Salah satu anak buahku berusaha menjawab walaupun ia terlihat sangat sibuk dengan ember di tangannya. “Kami tidak tahu kapten, begitu kami masuk ke dalam ruang mesin api sudah ada. Dan ketika kami mengecek bahan bakar ternyata bahan bakar kita bocor.” Jawabnya sambil mengatur nafas.

     “Baiklah kita harus tetap tenang dan berusaha memadamkan api ini” ujarku sambil berusaha tenang, karena jika aku panik pasti anak buahku akan lebih panik daripada aku. Kemudian aku pun ikut membantu mereka memadamkan api, tapi aku baru saja mengambil satu ember ketika persediaan air kami benar-benar habis.

     “Bagaimana ini kapten?” seseorang anak buahku dengan wajah yang sangat panik sambil memegang bahuku, sementara anak buahku yang lain hanya bisa terdiam menunggu perintahku yang selanjutnya.

     Aku hanya terdiam tanpa berbicara sepatah kata pun. Di saat-saat seperti ini aku hanya memikirkan Eldera, bagaimana keadaannya jika aku benar-benar tidak selamat dari sini? Apakah dia bisa hidup tanpaku?

     Aku masih saja terdiam dan melamun sampai aku mendengar seorang anak buahku berteriak. “Awas Kapten!” teriaknya dengan kencang. Setelah itu aku merasakan ada sesuatu yang berat dan juga panas menimpa tubuhku, lalu pandanganku pun hilang secara perlahan-lahan.
***



NB: Cerpen ini merupakan salah satu tugas mata kuliah dan terinsipirasi oleh puisi Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar