“Kapan kau sampai disini?” tanya seorang gadis yang suaranya kini kudengar di
handphoneku.
Aku
tersenyum mendengar pertanyaanya. Terlihat jelas bahwa ia sangat rindu kepadaku
karena ia sudah menanyakan hal yang sama selama beberapa kali semenjak aku
mengabarkan padanya bahwa aku akan pulang ke tanah kelahiranku, setelah
bertahun-tahun aku mengembara untuk mencari ilmu dan bekerja.
“Sebentar lagi,
kau harus sabar ya menungguku.” Ujarku sambil memandang laut lepas yang ada di
sekitarku. Kini sinar bulan sedang menerangi lautan yang gelap ini.
“Ughhh,
kau itu mengatakan sebentar lagi sejak tadi pagi, Al!” ujarnya sambil
merenggut. Aku bisa membayangkan wajahnya seperti apa sekarang walaupun kami
sudah lama tidak bertemu, pasti sangat lucu. Coba saja aku ada di sebelahnya
sekarang, aku pasti sudah mencubit kedua pipinya itu.
Tawaku
meledak ketika mendengarnya ucapannya. “Maafkan aku nona Eldera, aku berkata
seperti itu karena aku juga tidak bisa memprediksikan kapan aku sampai disana ”
ujarku sambil menahan tawa.
Terdengar
juga suara tawa di handphondku, pasti ia sedang tertawa sekarang karena aku menyebutnya
‘nona’ tadi. “Tapi kan harusnya kau tidak bilang sebentar lagi, Al. Kau tau
tidak, aku langsung menunggumu di pinggir pantai sehabis meneleponmu tadi pagi.”
Ujarnya setelah berhenti tertawa.
Aku
sedikit termenung mendengar ucapannya, aku tidak menyangka ia akan rela
menungguku di pantai padahal belum ada kepastian kapan aku akan sampai disana.
“Ya Tuhan! Kau seharusnya tidak menungguku disana El. Kau ke pantai bersama
siapa? Jangan bilang kau pergi sendiri?” tanyaku khawatir.
“Kau
ini berlebihan sekali sih Al,” ujarnya sambil tertawa. “Memangnya mengapa jika
aku sendirian ke pantai? Lagipula siapa juga yang mau menemaniku?” lanjutnya
yang membuatku terdiam. Aku baru ingat, Eldera sekarang tinggal sendirian
disana. Kedua orangtuanya sudah lama meninggal, sedangkan kakaknya yang sudah
berkeluarga tinggal di rumah yang berbeda.
Aku
menghela nafas panjang. “Kau bisa minta seseorang untuk menemanimu kan?”
tanyaku dengan nada berat.
“Alan,
kau tau sendiri aku ini bagaimana. Aku lebih nyaman sendirian kemana-mana,
kecuali kau yang menemaniku, aku baru mau” ujarnya sambil tertawa kecil. Sudah
kuduga, dia masih seperti Eldera yang dulu. Eldera yang lebih suka menyendiri
daripada bersama dengan seseorang yang tidak kenal dekat dengannya.
“El,
kau harus menghilangkan sifatmu itu dan mencari orang lain untuk menjadi
temanmu. Coba bayangkan, bagaimana kalau suatu hari nanti aku tidak ada lagi,
kau akan dengan siapa?” ujarku serius padanya.
Aku
mendengarnya mendengus kesal. “Apa yang kau bicarakan sih? Kau memangnya ingin pergi
kemana? Kau kan sudah berjanji akan selalu menemaniku, Al.” Eldera langsung
menghujaniku dengan banyak pertanyaan yang membuatku bingung. Entah aku juga
tidak tahu mengapa aku berkata seperti tadi. Aku hanya merasa bahwa aku tidak
yakin bisa menemaninya selamanya, ataupun bahkan untuk menemuinya lagi. Itu bukan
berarti aku akan meninggalkannya karena ada gadis lain yang aku cintai, tapi jujur
saja perasaanku sangat tidak tenang begitu menaiki kapal yang akan membawaku ke
tanah kelahiranku ini. Namun, aku berusaha untuk tetap berpikiran positif sejak
tadi. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku dapat menemui gadis yang
kucintai itu lagi dan menemaninya untuk selamanya. Lagipula sampai saat ini
langit terlihat sangat cerah dan tidak ada satupun tanda-tanda badai akan
muncul dan menghadang kapal kami.
“Aku
tidak akan kemana-mana, El. Aku... Aku hanya tidak ingin kau selalu sendirian
saja selama aku bekerja. Kau tau sendiri kan pekerjaanku ini membuatku pergi
dalam waktu yang sangat lama.” Jawabku seadanya karena aku bingung harus
berkata apa lagi padanya.
“Aku
akan menunggumu sampai kapan pun, Al. Tidak akan ada satupun orang yang bisa
menggantikan dirimu.” Ujarnya yang langsung membuatku tersenyum.
“Baiklah,
aku percaya padamu nona Eldera” ujarku setengah tertawa. “Oh iya, omong-omong
kau sudah pulang dari pantai kan?” tanyaku untuk memastikan.
Kudengar
suara tawanya lagi di handphoneku. “Tentu saja belum, Kapten Alan. Aku akan
menunggumu disini sampai kau datang.”
“Ya
Tuhan! Aku tidak mau tau, pokoknya kau harus pulang sekarang!” perintahku
padanya ketika mendengarnya yang masih menungguku di pantai sejak tadi pagi.
Aku khawatir padanya, aku takut ia sakit karena terkena angin pantai sejak pagi
dan aku juga takut ada orang yang berniat jahat padanya karena dia sendirian
sekarang dan pasti pantai sudah sangat sepi.
“Ughh,
kau benar-benar berlebihan!” ujarnya menggerutu. “Memangnya kenapa sih aku
tidak boleh menunggumu di pantai? Kau kan bilang bahwa sebentar lagi kau akan
sampai, jadi tanggung jika aku pulang sekarang.” Lanjutnya dengan nada kesal.
Aku
berusaha sabar untuk menghadapinya. “Aku khawatir kau sakit karena terkena
angin pantai daritadi, El. Selain itu juga bagaimana jika ada orang yang
berniat jahat padamu? Disana pasti kan sudah sangat sepi sekarang dan kau juga
sendirian, aku tidak mau kau kenapa-kenapa, El.” Jelasku panjang lebar.
“Aku
tidak apa-apa, Al. Kau tau kan aku ini perempuan yang kuat, lagipula aku dulu
kan sempat berlatih karate, jadi aku bisa menjaga diriku.” Bantahnya santai.
Aku
pun akhirnya menyerah dengannya. “Baiklah, kau boleh menungguku di pantai, tapi
jika sampai pukul sembilan malam aku belum juga sampai disana, kau harus
pulang.” Ujarku menawar.
“Jam
sembilan itu tinggal 30 menit lagi, Al, itu terlalu cepat!” ujarnya tidak
terima.
Aku
mendengus kesal. “Tidak ada tawar menawar lagi, pokoknya kau harus pulang jika
aku belum juga sampai pada pukul sembilan!”
“Tap-“
“Kapten-Kapten!”
suara teriakan dari belakangku membuatku tidak dapat mendengar suara Eldera
dengan jelas. Aku pun menengok ke belakang dan menemukan anak buahku berlari ke
arahku dengan wajah yang sangat pucat.
Aku
menatapnya dengan wajah penasaran. “Ada apa? Mengapa kau begitu panik?” tanyaku
sambil berusaha menenangkan anak buahku itu.
“Ba..
Bahan bakar kapal kita bocor dan... dan sebagian isinya tumpah ke dalam laut
kapten.” Ujar anak buahku.
Ucapan
anak buahku itu langsung membuatku terkejut dan berpikir. Apakah ini arti
perasaan tidak enakku tadi? Apakah benar aku tidak akan dapat menemani bahkan
menemui Eldera lagi?
“Kapten
mengapa anda malah melamun?” tanya anak buahku heran.
“Baiklah
ayo kita ke ruang mesin” ujarku sambil setengah berlari ke ruangan mesin. Dalam
perjalanan menuju ruang mesin aku langsung menutup telpon dari Eldera tanpa
berkata apa-apa lagi, lalu memasukan handphoneku ke dalam saku celana. Aku
yakin Eldera pasti kebingungan di sana karena aku tiba-tiba saja menutup
teleponnya. Maafkan aku, Eldera.
Sesampainya
di ruangan mesin, aku sangat terkejut karena api sudah berkobar dimana-mana.
Semua anak buahku berada di ruangan tersebut berusaha memadamkan api dengan
persedian air yang kami bawa, karena kami tidak mungkin mengambil air dari laut
yang sudah terkena bahan bakar.
“Bagaimana
ini bisa terjadi?” teriakku kepada semua orang yang ada di ruangan itu.
Salah
satu anak buahku berusaha menjawab walaupun ia terlihat sangat sibuk dengan
ember di tangannya. “Kami tidak tahu kapten, begitu kami masuk ke dalam ruang
mesin api sudah ada. Dan ketika kami mengecek bahan bakar ternyata bahan bakar
kita bocor.” Jawabnya sambil mengatur nafas.
“Baiklah
kita harus tetap tenang dan berusaha memadamkan api ini” ujarku sambil berusaha
tenang, karena jika aku panik pasti anak buahku akan lebih panik daripada aku.
Kemudian aku pun ikut membantu mereka memadamkan api, tapi aku baru saja
mengambil satu ember ketika persediaan air kami benar-benar habis.
“Bagaimana
ini kapten?” seseorang anak buahku dengan wajah yang sangat panik sambil memegang
bahuku, sementara anak buahku yang lain hanya bisa terdiam menunggu perintahku
yang selanjutnya.
Aku
hanya terdiam tanpa berbicara sepatah kata pun. Di saat-saat seperti ini aku
hanya memikirkan Eldera, bagaimana keadaannya jika aku benar-benar tidak
selamat dari sini? Apakah dia bisa hidup tanpaku?
Aku
masih saja terdiam dan melamun sampai aku mendengar seorang anak buahku
berteriak. “Awas Kapten!” teriaknya dengan kencang. Setelah itu aku merasakan
ada sesuatu yang berat dan juga panas menimpa tubuhku, lalu pandanganku pun
hilang secara perlahan-lahan.
***
NB: Cerpen ini merupakan salah satu tugas mata kuliah dan terinsipirasi oleh puisi Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar