Papua, 2005
Aku
menghela nafas panjang. “Aku tidak tega meninggalkan ibu sendirian di rumah.”
Ujarku pelan.
“Ibu
tidak apa-apa kok tinggal sendirian di rumah. Lagipula kan ada pamanmu, nak.”
Ujar ibuku di sela batuk-batuknya. Kini kami berdua sedang duduk di meja makan
kami yang sudah berumur puluhan tahun, walaupun sudah terlihat sudah sangat
jelek, tapi meja makan ini masih sangat kuat.
“Tapi
rumah paman kan cukup jauh dari sini, bu. Bagaimana kalau tiba-tiba penyakit
ibu kambuh?” tanyaku khawatir karena ibuku menderita penyakit asma yang sudah
cukup akut di umurnya yang sudah cukup tua ini. Aku dan ibuku hanya tinggal
berdua di rumah yang dapat dibilang sudah tidak lagi pantas di tempati. Ayahku
sudah lama meninggal, sedangkan semua kakak-kakakku sudah berkeluarga, jadi
mereka tinggal bersama keluarga mereka masing-masing. Hanya beberapa kali dalam
setahun mereka datang mengunjungi kami, bahkan ada beberapa dari mereka yang
sudah tidak pernah mengunjungi kami lagi sekalipun. Entah apakah mereka sudah
lupa pada kami berdua atau mereka malu karena kondisi ekonomi mereka yang
mungkin lebih parah daripada kami. Sehari-harinya ibuku berjualan kue di pasar
dekat rumahku untuk membiayai hidup kami dan juga sekolahku.
Ibuku
tersenyum. “Ibu tidak akan kenapa-kenapa nak, kau jangan terlalu
mengkhawatirkan ibu.” Ujarnya sambil mengelus rambut panjangku.
“Tapi
siapa yang akan membantu ibu bekerja jika aku tidak ada disini?” bantahku lagi
karena aku tidak akan tega melihat ibuku
yang sudah tua dan sakit-sakitan itu bekerja sendiri tanpa bantuan siapapun.
Biasanya pagi-pagi sebelum aku berangkat sekolah aku selalu membantunya membuat
kue-kue yang akan dijualnya.
Ia
masih tetap tersenyum lalu menjawab pertanyaanku. “Ibu bisa melakukan pekerjaan itu sendiri nak, tolong jangan khawatirkan ibu” ujarnya berusaha menenangkanku.
“Kau harus mengambil kesempatan itu nak selagi kau bisa, ibu benar-benar tak
apa” lanjutnya lagi.
“Tapi..tapi
aku akan pergi sangat lama bu, ibu yakin ibu tak apa?” tanyaku memastikan.
“Iya
ibu yakin,” ujarnya sambil tersenyum. “Kau tau tidak, kau benar-benar beruntung
nak. Kau bisa mendapatkan beasiswa lalu pergi ke Jakarta dan melanjutkan
kuliahmu disana, Ibu bangga padamu” Ujar ibuku sambil menyeka air mata yang
sejak tadi berada di kelopak matanya itu.
Mendengar
jawabannya itu aku langsung memeluknya erat dan menangis di pelukannya. “Tapi
aku pasti aku akan merindukanmu, bu” ujarku di dalam pelukan ibuku.
“Makanya
kau harus cepat-cepat mengambil beasiswa itu agar bisa cepat kembali kesini
nak.” Ujar ibuku sambil mengelus rambut panjangku.
Aku
melepaskan pelukan ibuku lalu menatapnya. “Tapi aku belum terlalu yakin akan
menerima beasiswa itu atau tidak, bu.” Ujarku jujur.
“Nak,
kesempatan ini tidak datang dua kali, jadi kau harus meyakinkan dirimu bahwa
ini adalah jalan yang terbaik untukmu. Ibu tau kau sangat ingin melanjutkan
kuliahmu kan? Jadi kau harus meyakinkan dirimu. Jangan sampai karena ibu, kau
jadi tidak mau mengambil beasiswa ini.” Ujarnya sambil menatapku dengan penuh
kasih sayang.
“Baiklah,
bu.” Ujarku sambil tersenyum.
***
Sekarang
aku sedang berada di pelabuhan untuk menaiki kapal yang akan membawaku ke
Jakarta. Aku disini ditemani oleh ibuku serta pamanku yang tadi mengantar kami.
Sedari tadi aku melihat ibu terus berusaha tersenyum dibalik kesedihannya. Aku
tau ia sedih karena dari tadi ia terus mengusap kelopak matanya dengan sapu
tangan merah jambu yang dibawanya dari rumah. Ia menangis, aku tau itu. Namun,
aku berpura-pura tidak mengetahui hal itu sambil menahan air mataku yang sedari
tadi ingin keluar juga. Ketika kapalku datang, aku tidak dapat menahan air
mataku lagi, aku langsung menangis dan memeluk ibuku erat.
“Bu,
aku tidak usah pergi saja ya” ujarku dipelukannya dengan air mata yang masih
saja mengalir deras di pipiku.
Ibuku
langsung melepaskan pelukanku begitu mendengar ucapanku. “Kenapa kau bicara
seperti itu, nak? Kau harus segera berangkat sekarang.” Ujarnya sambil
menghapus air mataku dengan saputangannya tadi.
“Aku tidak tega meninggalkan ibu
sendiri, dan aku juga pasti akan merindukan ibu.” Ujarku sambil menatap
matanya.
Ibuku
tersenyum mendengar perkataanku. “Ibu akan terus mengirimimu surat, nak. Ibu
yakin itu bisa menjadi pengobat rindumu nanti.” Ujarnya sambil menatapku.
“Baiklah
bu, aku akan tetap berangkat.” Ujarku sambil mengangkat tasku. “Aku berjanji,
setelah aku sukses nanti aku akan langsung pulang bu.” Aku memeluk ibuku lagi
untuk terakhir kalinya.
“Iya
nak, ibu akan menunggumu. Kau harus cepat-cepat kembali ke sini ya.” Ujarnya
sambil melepaskan pelukanku.
“Pasti
bu” jawabku sambil berusaha tersenyum walaupun dengan air mata yang berlinang
di pipiku. “Paman, aku berangkat dulu ya” pamitku kepada pamanku yang sedari
tadi hanya diam seakan tidak ingin menggangguku dan juga ibu.
“Iya,
kau hati-hati ya di sana.” Ujarnya sambil mengelus rambutku.
***
Papua,
2010
Akhirnya
aku dapat lagi menginjakan kakiku di tanah kelahiranku ini. Tempat ini masih
sama, belum banyak perubahan yang terjadi. Orang-orang disini masih ramah,
walaupun sepertinya mereka sudah tidak mengenali lagi siapakah aku. Aku sudah
meninggalkan tanah kelahiranku ini selama lima tahun, kini aku sudah berkerja
dan memiliki rumah sendiri di Jakarta. Sekarang, tujuanku kesini adalah untuk
bertemu ibuku dan mengajaknya tinggal bersamaku di Jakarta. Aku rindu sekali
dengan ibuku, selama aku tingggal di Jakarta, beliau hanya mengirimiku surat
satu kali. Mungkin karena aku pindah dan dia tidak tahu alamatku yang baru jadi
ia tetap mengirimiku surat ke alamat yang lama. Dan tentu saja surat-surat yang
ia kirimi setelah aku pindah tidak pernah sampai ke tanganku, aku ingin sekali
mengiriminya surat duluan, tapi sayang aku tidak ingat alamat rumahku di Papua.
Aku berharap ia baik-baik saja dan ia juga tidak marah padaku karena tidak
mengabarinya selama lima tahun ini.
Sesampainya
di depan rumahku yang dulu aku terkejut karena pintu depan rumahku dikunci
dengan gembok yang cukup besar. Aku yang bingung pun langsung berlari ke rumah
pamanku untuk menanyai kemanakah ibu. Ketika dalam perjalanan menuju rumah
pamanku, aku sangatlah panik, pikiranku melayang memikirkan kondisi buruk apa
yang sedang terjadi pada ibuku sekarang. Bahkan aku sempat menitikan air mata,
tapi aku terus mengelapnya lagi dengan tanganku.
“Paman!
Paman! Paman!” Aku berteriak sambil menggedor-gedor pintu rumah pamanku
beberapa kali.
Akhirnya
pintu pun terbuka dan keluarlah seseorang dengan wajah yang sudah tidak asing
lagi bagiku. Tapi terlihat beberapa perubahan dari dirinya, contohnya saja
rambutnya sudah ditumbuhi rambut-rambut putih sekarang.
“Tamita?”
ujar paman tak percaya ketika melihatku berada di depan pintu.
“Ibu
dimana paman? Ibu dimana?” teriakku tidak sabar sambil mengguncang tubuhnya.
“Ibu...Ibumu..”
Paman terlihat sekali bingung ketika hendak menjawab pertanyaanku itu. “Lebih
baik kau duduk dulu di dalam, kau pasti lelah kan baru sampai?” tawarnya sambil
membuka pintu rumahnya lebar.
“Aku
tidak lelah paman, aku hanya ingin tau dimana ibuku!” ujarku setengah
berteriak.
Pamanku
pun menghela nafas berat. “Baiklah, ayo kita temui ibumu” ujarnya.
***
“I..ibu...”
Air mataku langsung menetes begitu melihat ibuku terbaring tidak berdaya di
salah satu ranjang yang ada di puskesmas yang ada di dekat rumahku. Aku pun
langsung duduk di tempat duduk yang ada di sampingnya dan menggenggam erat
tangannya yang sangat dingin. Sama seperti pamanku, ibuku juga terlihat berbeda
dari yang dulu. Sekarang tubuhnya sangatlah kurus, seluruh rambutnya telah
berwarna putih, dan wajahnya sangatlah pucat. “Ibu kenapa paman?”
“Sepertinya
asmanya kambuh semalam, tadi pagi aku menemukannya di rumah sudah tidak sadar.”
Jelasnya singkat.
“Apakah
kakak-kakakku sudah diberi tahu akan hal ini, paman?”
“Aku
sudah mencoba menghubungi mereka, tapi sayangnya tidak ada satupun dari mereka
yang dapat kuhubungi” jawabnya lesu. “Kau sendiri kemana saja selama lima tahun
ini? Kenapa kau tidak ada kabar? Ibumu sangat mencemaskanmu.”
Aku
terdiam sejenak, aku sangat merasa bersalah pada ibuku. “Aku pindah rumah
paman, jadi mungkin surat-surat ibu sampai ke rumahku yang lama. Dan... aku
juga tidak hafal alamat rumahku yang disini, jadi aku tiba bisa mengirim surat.”
Jelasku padanya.
“Oh
seperti itu, ya sudah lebih baik kau pulang ke rumah paman saja, paman yakin
kau lelah kan? Biar paman yang menjaga ibumu disini.”
Aku
menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. “Tidak usah paman, biar aku yang
menjaganya, aku masih ingin bersama ibu.” Ujarku.
“Baiklah,
tapi jika kau sudah lelah kau harus bilang pada paman ya.”
“Baik
paman.” Ujarku sambil tersenyum.
***
“Ta..Tamita...Tamita...”
suara bisikkan itu langsung berhasil membangunkanku dari tidurku. Tadi aku
tidak sengaja tertidur di kursi yang berada tepat di samping tempat tidur
ibuku.
“Ibu..
Ibu sudah bangun?” ujarku tak percaya. “Bu maafkan aku ya, aku tidak pernah
memberi kabar pada ibu.” Lanjutku sambil menciumi tangan ibuku. Pipiku sekarang
sudah basah dengan air mata, aku sangat bersyukur sekali ibu bisa membuka
matanya kembali.
Ibuku
tersenyum lemah. “Iya, tak apa nak. Bagaimana kabarmu sekarang? Kau terlihat
tambah cantik sekarang” ujar ibuku sambil mengelus rambutku.
Aku
membalas senyumnya ditengah air mataku yang masih saja mengalir. “Aku baik-baik
saja bu.”
“Apakah
kau sudah bekerja sekarang? Ibu ingin sekali mendengarkan ceritamu, nak.”
Ujarnya lemah.
Mendengar
ucapannya itu, aku pun langsung menceritakan pengalamanku tinggal di Jakarta.
Mulai dari ketika aku baru tiba di sana sampai dengan ketika aku pulang kembali
ke sini. Tanpa terasa sudah satu jam aku bercerita, dan sekarang juga
kelihatannya ibu sudah masuk ke alam mimpinya lagi. Karena sudah tengah malam,
aku pun memutuskan untuk tidur lagi di kursi yang ada di samping ibuku.
***
“Permisi,
kami ingin memeriksa Ibu ini.” Suara seseorang berhasil membangunkanku dalam
tidurku.
“Oh
baiklah” ujarku yang baru bangun lalu langsung berdiri di samping dokter dan
suster yang akan memeriksa keadaan ibuku. “Ia sepertinya tidur sangat nyenyak
karena semalam kami mengobrol sampai tengah malam.” Jelasku sambil tersenyum
pada dokter yang sedang memeriksa ibuku.
Entah
apa yang terjadi tiba-tiba wajah dokter itu terlihat sangat panik, ia langsung
memeriksa leher serta tangan ibuku. Aku yang bingung pun akhirnya bertanya,
“Apa yang terjadi dok?”
Dokter
maupun suster itu tidak juga menjawab pertanyaanku. Mereka berdua mengabaikanku
seolah-olah aku tidak ada disini. “Dok, saya bertanya apa yang terjadi pada ibu
saya?” tanyaku setengah berteriak kepada dokter itu.
“Ibu
anda tidak tidur...”
“Maksud
anda, ibu saya pingsan?” tanyaku berusaha menjauhkan pikiran-pikiran negatif
yang sejak tadi sudah berputar-putar di kepalaku.
“Maaf,
tapi ibu anda sudah meninggal...”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar