Minggu, 06 November 2016

Surat dari Ibu [Cerpen]

Papua, 2005
            Aku menghela nafas panjang. “Aku tidak tega meninggalkan ibu sendirian di rumah.” Ujarku pelan.

            “Ibu tidak apa-apa kok tinggal sendirian di rumah. Lagipula kan ada pamanmu, nak.” Ujar ibuku di sela batuk-batuknya. Kini kami berdua sedang duduk di meja makan kami yang sudah berumur puluhan tahun, walaupun sudah terlihat sudah sangat jelek, tapi meja makan ini masih sangat kuat.


            “Tapi rumah paman kan cukup jauh dari sini, bu. Bagaimana kalau tiba-tiba penyakit ibu kambuh?” tanyaku khawatir karena ibuku menderita penyakit asma yang sudah cukup akut di umurnya yang sudah cukup tua ini. Aku dan ibuku hanya tinggal berdua di rumah yang dapat dibilang sudah tidak lagi pantas di tempati. Ayahku sudah lama meninggal, sedangkan semua kakak-kakakku sudah berkeluarga, jadi mereka tinggal bersama keluarga mereka masing-masing. Hanya beberapa kali dalam setahun mereka datang mengunjungi kami, bahkan ada beberapa dari mereka yang sudah tidak pernah mengunjungi kami lagi sekalipun. Entah apakah mereka sudah lupa pada kami berdua atau mereka malu karena kondisi ekonomi mereka yang mungkin lebih parah daripada kami. Sehari-harinya ibuku berjualan kue di pasar dekat rumahku untuk membiayai hidup kami dan juga sekolahku.  

    Ibuku tersenyum. “Ibu tidak akan kenapa-kenapa nak, kau jangan terlalu mengkhawatirkan ibu.” Ujarnya sambil mengelus rambut panjangku.

        “Tapi siapa yang akan membantu ibu bekerja jika aku tidak ada disini?” bantahku lagi karena aku  tidak akan tega melihat ibuku yang sudah tua dan sakit-sakitan itu bekerja sendiri tanpa bantuan siapapun. Biasanya pagi-pagi sebelum aku berangkat sekolah aku selalu membantunya membuat kue-kue yang akan dijualnya.
       
        Ia masih tetap tersenyum lalu menjawab pertanyaanku. “Ibu bisa melakukan pekerjaan itu sendiri nak, tolong jangan khawatirkan ibu” ujarnya berusaha menenangkanku. “Kau harus mengambil kesempatan itu nak selagi kau bisa, ibu benar-benar tak apa” lanjutnya lagi.


       “Tapi..tapi aku akan pergi sangat lama bu, ibu yakin ibu tak apa?” tanyaku memastikan.

     “Iya ibu yakin,” ujarnya sambil tersenyum. “Kau tau tidak, kau benar-benar beruntung nak. Kau bisa mendapatkan beasiswa lalu pergi ke Jakarta dan melanjutkan kuliahmu disana, Ibu bangga padamu” Ujar ibuku sambil menyeka air mata yang sejak tadi berada di kelopak matanya itu.
    
     Mendengar jawabannya itu aku langsung memeluknya erat dan menangis di pelukannya. “Tapi aku pasti aku akan merindukanmu, bu” ujarku di dalam pelukan ibuku.

            “Makanya kau harus cepat-cepat mengambil beasiswa itu agar bisa cepat kembali kesini nak.” Ujar ibuku sambil mengelus rambut panjangku.

            Aku melepaskan pelukan ibuku lalu menatapnya. “Tapi aku belum terlalu yakin akan menerima beasiswa itu atau tidak, bu.” Ujarku jujur.

            “Nak, kesempatan ini tidak datang dua kali, jadi kau harus meyakinkan dirimu bahwa ini adalah jalan yang terbaik untukmu. Ibu tau kau sangat ingin melanjutkan kuliahmu kan? Jadi kau harus meyakinkan dirimu. Jangan sampai karena ibu, kau jadi tidak mau mengambil beasiswa ini.” Ujarnya sambil menatapku dengan penuh kasih sayang.

            “Baiklah, bu.” Ujarku sambil tersenyum.
***

      Sekarang aku sedang berada di pelabuhan untuk menaiki kapal yang akan membawaku ke Jakarta. Aku disini ditemani oleh ibuku serta pamanku yang tadi mengantar kami. Sedari tadi aku melihat ibu terus berusaha tersenyum dibalik kesedihannya. Aku tau ia sedih karena dari tadi ia terus mengusap kelopak matanya dengan sapu tangan merah jambu yang dibawanya dari rumah. Ia menangis, aku tau itu. Namun, aku berpura-pura tidak mengetahui hal itu sambil menahan air mataku yang sedari tadi ingin keluar juga. Ketika kapalku datang, aku tidak dapat menahan air mataku lagi, aku langsung menangis dan memeluk ibuku erat.
     
       “Bu, aku tidak usah pergi saja ya” ujarku dipelukannya dengan air mata yang masih saja mengalir deras di pipiku.
      
      Ibuku langsung melepaskan pelukanku begitu mendengar ucapanku. “Kenapa kau bicara seperti itu, nak? Kau harus segera berangkat sekarang.” Ujarnya sambil menghapus air mataku dengan saputangannya tadi.
  
          “Aku tidak tega meninggalkan ibu sendiri, dan aku juga pasti akan merindukan ibu.” Ujarku sambil menatap matanya.

       Ibuku tersenyum mendengar perkataanku. “Ibu akan terus mengirimimu surat, nak. Ibu yakin itu bisa menjadi pengobat rindumu nanti.” Ujarnya sambil menatapku.

       “Baiklah bu, aku akan tetap berangkat.” Ujarku sambil mengangkat tasku. “Aku berjanji, setelah aku sukses nanti aku akan langsung pulang bu.” Aku memeluk ibuku lagi untuk terakhir kalinya.
       
     “Iya nak, ibu akan menunggumu. Kau harus cepat-cepat kembali ke sini ya.” Ujarnya sambil melepaskan pelukanku.
   
     “Pasti bu” jawabku sambil berusaha tersenyum walaupun dengan air mata yang berlinang di pipiku. “Paman, aku berangkat dulu ya” pamitku kepada pamanku yang sedari tadi hanya diam seakan tidak ingin menggangguku dan juga ibu.

        “Iya, kau hati-hati ya di sana.” Ujarnya sambil mengelus rambutku.
***

Papua, 2010
       Akhirnya aku dapat lagi menginjakan kakiku di tanah kelahiranku ini. Tempat ini masih sama, belum banyak perubahan yang terjadi. Orang-orang disini masih ramah, walaupun sepertinya mereka sudah tidak mengenali lagi siapakah aku. Aku sudah meninggalkan tanah kelahiranku ini selama lima tahun, kini aku sudah berkerja dan memiliki rumah sendiri di Jakarta. Sekarang, tujuanku kesini adalah untuk bertemu ibuku dan mengajaknya tinggal bersamaku di Jakarta. Aku rindu sekali dengan ibuku, selama aku tingggal di Jakarta, beliau hanya mengirimiku surat satu kali. Mungkin karena aku pindah dan dia tidak tahu alamatku yang baru jadi ia tetap mengirimiku surat ke alamat yang lama. Dan tentu saja surat-surat yang ia kirimi setelah aku pindah tidak pernah sampai ke tanganku, aku ingin sekali mengiriminya surat duluan, tapi sayang aku tidak ingat alamat rumahku di Papua. Aku berharap ia baik-baik saja dan ia juga tidak marah padaku karena tidak mengabarinya selama lima tahun ini.
        
    Sesampainya di depan rumahku yang dulu aku terkejut karena pintu depan rumahku dikunci dengan gembok yang cukup besar. Aku yang bingung pun langsung berlari ke rumah pamanku untuk menanyai kemanakah ibu. Ketika dalam perjalanan menuju rumah pamanku, aku sangatlah panik, pikiranku melayang memikirkan kondisi buruk apa yang sedang terjadi pada ibuku sekarang. Bahkan aku sempat menitikan air mata, tapi aku terus mengelapnya lagi dengan tanganku.

     “Paman! Paman! Paman!” Aku berteriak sambil menggedor-gedor pintu rumah pamanku beberapa kali.

      Akhirnya pintu pun terbuka dan keluarlah seseorang dengan wajah yang sudah tidak asing lagi bagiku. Tapi terlihat beberapa perubahan dari dirinya, contohnya saja rambutnya sudah ditumbuhi rambut-rambut putih sekarang.

      “Tamita?” ujar paman tak percaya ketika melihatku berada di depan pintu.

      “Ibu dimana paman? Ibu dimana?” teriakku tidak sabar sambil mengguncang tubuhnya.

     “Ibu...Ibumu..” Paman terlihat sekali bingung ketika hendak menjawab pertanyaanku itu. “Lebih baik kau duduk dulu di dalam, kau pasti lelah kan baru sampai?” tawarnya sambil membuka pintu rumahnya lebar.

      “Aku tidak lelah paman, aku hanya ingin tau dimana ibuku!” ujarku setengah berteriak.
            
     Pamanku pun menghela nafas berat. “Baiklah, ayo kita temui ibumu” ujarnya.

***

       “I..ibu...” Air mataku langsung menetes begitu melihat ibuku terbaring tidak berdaya di salah satu ranjang yang ada di puskesmas yang ada di dekat rumahku. Aku pun langsung duduk di tempat duduk yang ada di sampingnya dan menggenggam erat tangannya yang sangat dingin. Sama seperti pamanku, ibuku juga terlihat berbeda dari yang dulu. Sekarang tubuhnya sangatlah kurus, seluruh rambutnya telah berwarna putih, dan wajahnya sangatlah pucat. “Ibu kenapa paman?”

       “Sepertinya asmanya kambuh semalam, tadi pagi aku menemukannya di rumah sudah tidak sadar.” Jelasnya singkat.

         “Apakah kakak-kakakku sudah diberi tahu akan hal ini, paman?”

      “Aku sudah mencoba menghubungi mereka, tapi sayangnya tidak ada satupun dari mereka yang dapat kuhubungi” jawabnya lesu. “Kau sendiri kemana saja selama lima tahun ini? Kenapa kau tidak ada kabar? Ibumu sangat mencemaskanmu.”

       Aku terdiam sejenak, aku sangat merasa bersalah pada ibuku. “Aku pindah rumah paman, jadi mungkin surat-surat ibu sampai ke rumahku yang lama. Dan... aku juga tidak hafal alamat rumahku yang disini, jadi aku tiba bisa mengirim surat.” Jelasku padanya.

        “Oh seperti itu, ya sudah lebih baik kau pulang ke rumah paman saja, paman yakin kau lelah kan? Biar paman yang menjaga ibumu disini.”

        Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. “Tidak usah paman, biar aku yang menjaganya, aku masih ingin bersama ibu.” Ujarku.

         “Baiklah, tapi jika kau sudah lelah kau harus bilang pada paman ya.”

          “Baik paman.” Ujarku sambil tersenyum.
***

        “Ta..Tamita...Tamita...” suara bisikkan itu langsung berhasil membangunkanku dari tidurku. Tadi aku tidak sengaja tertidur di kursi yang berada tepat di samping tempat tidur ibuku.
            
      “Ibu.. Ibu sudah bangun?” ujarku tak percaya. “Bu maafkan aku ya, aku tidak pernah memberi kabar pada ibu.” Lanjutku sambil menciumi tangan ibuku. Pipiku sekarang sudah basah dengan air mata, aku sangat bersyukur sekali ibu bisa membuka matanya kembali.
      
      Ibuku tersenyum lemah. “Iya, tak apa nak. Bagaimana kabarmu sekarang? Kau terlihat tambah cantik sekarang” ujar ibuku sambil mengelus rambutku.
      
      Aku membalas senyumnya ditengah air mataku yang masih saja mengalir. “Aku baik-baik saja bu.”
      
      “Apakah kau sudah bekerja sekarang? Ibu ingin sekali mendengarkan ceritamu, nak.” Ujarnya lemah.

            Mendengar ucapannya itu, aku pun langsung menceritakan pengalamanku tinggal di Jakarta. Mulai dari ketika aku baru tiba di sana sampai dengan ketika aku pulang kembali ke sini. Tanpa terasa sudah satu jam aku bercerita, dan sekarang juga kelihatannya ibu sudah masuk ke alam mimpinya lagi. Karena sudah tengah malam, aku pun memutuskan untuk tidur lagi di kursi yang ada di samping ibuku.
***

      “Permisi, kami ingin memeriksa Ibu ini.” Suara seseorang berhasil membangunkanku dalam tidurku.
       
     “Oh baiklah” ujarku yang baru bangun lalu langsung berdiri di samping dokter dan suster yang akan memeriksa keadaan ibuku. “Ia sepertinya tidur sangat nyenyak karena semalam kami mengobrol sampai tengah malam.” Jelasku sambil tersenyum pada dokter yang sedang memeriksa ibuku.

      Entah apa yang terjadi tiba-tiba wajah dokter itu terlihat sangat panik, ia langsung memeriksa leher serta tangan ibuku. Aku yang bingung pun akhirnya bertanya, “Apa yang terjadi dok?”
       
     Dokter maupun suster itu tidak juga menjawab pertanyaanku. Mereka berdua mengabaikanku seolah-olah aku tidak ada disini. “Dok, saya bertanya apa yang terjadi pada ibu saya?” tanyaku setengah berteriak kepada dokter itu.
    
        “Ibu anda tidak tidur...”
    
        “Maksud anda, ibu saya pingsan?” tanyaku berusaha menjauhkan pikiran-pikiran negatif yang sejak tadi sudah berputar-putar di kepalaku.
   
         “Maaf, tapi ibu anda sudah meninggal...”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar