Minggu, 06 November 2016

Dulu dan Kini [Cerpen]

“Lepasin Nenek aku! Jangan bawa dia pergi!” Aku berteriak sekencang-kencangnya ketika melihat dua orang laki-laki yang mengenakan baju putih itu membawa Nenekku pergi menjauh dariku. Ibuku dengan wajah yang kini sudah dihiasi dengan butiran-butiran kristal yang jatuh dari matanya itu berusaha memelukku. Ia memeluk tubuhku sangat erat, berusaha menahanku yang kini sudah meronta-ronta untuk dilepaskan. Aku ingin mengejar orang-orang itu, aku tidak ingin orang-orang itu mengambil Nenekku. Tapi sepertinya usahaku sia-sia, Ibu tidak juga melepaskan pelukannya dan orang-orang itu pun sudah tidak terlihat. Aku menyerah, kini aku hanya bisa terdiam di pelukkan Ibuku dengan air mata yang memenuhi wajahku yang penuh dengan tanah dan lumpur.
*** 


“Neneeeeeeek..” Aku memanggil Nenekku begitu memasuki rumah sederhana ini. Cat dinding berwarna putih yang sudah mengelupas itu menandakan bahwa rumah ini sudah berumur tua, mungkin lebih dari umur Nenek karena bukan hanya catnya saja tetapi kayu-kayu yang dulunya kokoh menahan rumah ini sudah mulai lapuk. Suara hujan dan petir yang menggelegar seakan menyambutku pulang. Aku menaruh payung merah yang tadinya ada di tanganku ke atas meja lalu aku pun menghampiri Nenekku.

“Akhirnya kamu pulang juga Ret, kamu ga kehujanan kan?” Perempuan berambut putih itu bertanya padaku, rambutnya yang berwarna putih itu ia ikat menjadi konde. Ia kini mengenakan kebaya sederhana berwarna biru serta kain batik dengan warna senada. Kebaya yang ia kenakan membuatnya tampak lebih cantik menurutku. Ia kini sedang duduk di lantai yang beralaskan tikar sambil melipat baju-baju tetangga yang  baru saja diangkat oleh Ibu dari jemuran.

“hmm..i..iya kok Nek, Retno ga kehujanan” Aku menjawab gugup, aku berbohong. Badanku kini basah kuyup, baju yang semula kering ketika aku berangkat kini telah menjadi basah karena air-air yang turun dari langit itu. Perlahan Nenek mendekat ke arahku yang sekarang masih berdiri di dekatnya, ia berdiri begitu saja dan meninggalkan cucian yang sedari tadi sedang ia lipat. Tangannya menggapai-gapai, berusaha memegang wajahku yang sudah berada dekat dengannya. Pada akhirnya aku pun menuntun tangannya untuk menggapai wajahku karena ia tidak kunjung sampai menggapainya. Tanganku yang basah dan dingin pun merasakan tangannya yang hangat, entah hangat karna apa, yang penting aku sangat nyaman dengan kehangatan itu.

“Kenapa kamu bohong Ret?” Ia bertanya ketika ia sudah berhasil menyentuh wajahku yang kini dingin dan basah. Tangannya yang hangat itu berusaha mengeringkan wajahku dengan kebaya yang sedang ia pakai, aku hanya bisa terdiam, aku bingung harus menjawab apa.

“Ret, kamu dengar Nenek kan? Kamu bawa payung kan tadi?”

“Maafin Retno nek, Retno memang bawa payung, tapi payung itu Retno buat mengantarkan orang-orang yang kehujanan di luar sana.” Aku menjawab seadanya, aku memang memakai payung itu untuk ‘ojek payung’ tadi, jadi tentu saja aku tetap basah walaupun tadi aku membawa payung merah tadi.

“Jadi tadi kamu jadi ojek payung lagi?”

“Iya Nek tadi Retno ngojek payung lagi.” Akhirnya aku pun mengaku padanya. Aku menunduk, entah mengapa aku tidak berani menatap kedua matanya itu walaupun aku tau kini kedua mata itu sudah tidak dapat melihatku seperti dahulu lagi. Hati kecilku berbisik, Nenek tetap dapat melihatku walaupun matanya kini sudah tidak dapat berfungsi seperti dulu lagi. Pikiran-pikiran buruk langsung berputar di otakku, aku takut Nenek akan marah padaku karena beberapa hari yang lalu ia sudah melarangku untuk melakukan hal ini, tapi nyatanya sekarang aku malah melakukannya lagi.

“Ret, Nenek kan sudah bilang kamu jangan jadi ojek payung lagi. Nenek khawatir kamu sakit.” Di luar dugaanku, ia sekarang malah mengelus rambutku dan berbicara dengan nada bicara yang lembut, tidak sama sekali ada nada marah terdengar dari ucapannya itu.

“Tapi nek aku kan ingin mengumpulkan uang untuk operasi mata Nenek, aku ingin Nenek bisa melihat lagi seperti dulu.“

Ya, satu-satunya alasanku ojek payung adalah untuk mengumpulkan uang operasi mata Nenek. Nenek terkena katarak semenjak 3 tahun yang lalu, karena penyakitnya itulah ia kini tidak dapat melihat. Awalnya aku tidak tau Nenek ingin bisa melihat kembali seperti dulu sampai seminggu yang lalu ketika kami sedang mengobrol berdua Nenek tiba-tiba berkata, “Pasti sekarang kamu sudah tambah cantik ya Ret, coba aja Nenek bisa melihat lagi”. Ia berkata demikian sambil meraba-raba wajahku, sejak itulah aku mulai berpikir untuk mengumpulkan uang untuk operasi mata Nenek. Awalnya aku sempat bingung bagaimana aku bisa mendapatkan uang itu, aku hanyalah gadis kecil berumur 11 tahun yang tidak bisa apa-apa. Tapi akhirnya aku mendapatkan ide untuk mengojek payung saat aku melihat hujan. Aku tau memang pasti akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengumpulkan uang itu. Tapi aku janji aku akan terus berusaha sampai aku berhasil mengumpulkan semua uang itu.

“Retno, Nenek sudah bersyukur kok dengan keadaan Nenek yang sekarang, jadi kamu tidak usah ojek payung lagi ya, Nenek tidak mau melihat kamu sakit Ret.”

“Retno ga bakalan sakit kok Nek, Retno kan anak yang kuat.” Aku tersenyum sangat lebar walaupun aku tau nenek tidak dapat melihat senyumku itu.

“Haha dasar kamu ini, baiklah tapi uang yang kamu kumpulkan itu lebih baik kamu gunakan untuk biaya sekolah kamu saja Ret. Kamu kan dulu pernah bilang pada Nenek kalo kamu ingin sekali sek- uhukuhukuhuk”

“Nenek? Nenek kenapa? Ibuuuuuuuuu!” Aku teriak memanggil Ibu, aku khawatir karena tiba-tiba saja Nenek batuk dengan sangat kencang. Aku mengelus pundak Nenek, mungkin saja ini bisa mengurangi batuknya pikirku. Kini aku menatap wajah Nenek yang sedikit memerah karena batuk tadi, aku baru sadar wajah Nenek sekarang lebih atau bisa dibilang sangat pucat daripada yang biasanya, bibirnya kini malah berwarna putih bukan merah.

“Nenek kenapa Ret?” Dengan celemek yang masih menempel di bajunya Ibu menghampiriku dan Nenek, dari wajahnya ia terlihat sangat khawatir tapi ia berusaha untuk tetap tenang di hadapanku. Sebelum sempat aku menjawab pertanyaannya, ia langsung memapah Nenek ke kamar tidur Nenek.

***

“Ibu aku berangkat dulu ya.”

Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini aku juga akan mengojek payung. Aku tahu, Nenek dan juga Ibu telah beberapa kali melarangku melakukan hal ini tapi aku akan tetap terus melakukan hal ini sampai uang untuk operasi Nenek itu terkumpul semua. Dengan payung di tangan kiriku aku berpamitan pada wanita paruh baya yang sedang mencuci itu. Tangannya basah oleh air dan busa dari cucian baju yang sedang dicucinya itu. Baju-baju itu bukanlah baju Ibu, Nenek, ataupun aku, baju-baju itu adalah baju-baju tetangga kami yang dicuci oleh Ibu untuk mendapatkan uang. Ketika aku datang, ia langsung mengeringkan tangannya ke baju warna merah yang sudah lusuh yang kini sedang dipakainya. Lalu ia pun merogoh saku celananya, mengeluarkan beberapa lembar seribuan dari sakunya.

“Ini nak buat kamu jajan.”

“Tidak usah Bu, aku kan cuma main tidak jajan. Oh iya Bu keadaan Nenek sekarang bagaimana?” Aku menolak uang itu dan langsung menanyakan keadaan Nenek. Aku khawatir, semalam saat aku terbangun aku mendengar suara batuk Nenek. Rasanya aku ingin mengecek keadaan Nenek, tapi jujur saja aku tidak berani keluar dari kamarku sendiri saat lampu-lampu sudah padam.

“Nenek tidak apa-apa kok, sekarang nenek masih tidur dikamar.” Uang itupun dimasukkannya kembali ke dalam saku celana. Setelah itu aku pun langsung mencium tangannya yang bau akan sabun cuci lalu bergegas pergi meninggalkannya dengan payung yang masih berada di genggamanku.

Sebelum benar-benar pergi aku sempatkan waktu sebentar untuk melihat Nenek di kamarnya. Aku buka perlahan pintu berwarna coklat yang sudah penuh akan coret-coretan yang aku buat ketika aku berumur lima tahun. Terlihatlah Nenek sedang tertidur di tempat tidurnya. Dengan selimut yang menutupi tubuhnya ia tertidur sangat nyenyak. Rambut putih yang biasanya selalu ia konde, sekarang digerai. Matanya pun tertutup sangat erat seakan-akan tidak akan pernah terbuka lagi. Kucium pipinya, dingin. Tidak seperti biasanya pipi itu dingin, biasanya pipi itu sangatlah hangat ketika kucium.

***

       Aku berlari sekencang-kencangnya, tidak peduli akan hujan yang kini seakan sedang menyerangku dengan air-airnya yang dingin dan menusuk kulitku, aku tetap menerobos hujan tanpa payung ataupun jas hujan. Yang aku pedulikan kini hanya satu, Nenek. Sudah berulang kali pula aku jatuh, tapi aku langsung bangkit kembali, tidak peduli dengan wajahku yang kini dihiasi dengan tanah dan bajuku yang sangat kotor dan basah.

       Begitu pulang habis ojek payung tadi aku mendapati rumahku kosong dengan pintu yang terbuka lebar. Aku pun bingung, aku masuk ke dalam rumah dan langsung berteriak-teriak memanggil Ibu serta Nenek. Tapi tetap saja hanya kesunyian yang menjawab teriakanku tadi. Aku pun akhirnya lelah dan menyerah, aku duduk di lantai dengan nafas yang terengah-engah. Diam masih menyelimutiku sampai seseorang memanggil namaku dan menghampiriku, ia berkata Ibu sedang membawa Nenek ke rumah sakit karena tadi Nenek tidak sadarkan diri.

     Disinilah aku sekarang berdiri, di rumah sakit tempat Ibu dan Nenek berada. Dengan baju dan wajah yang basah serta dipenuhi dengan tanah aku mencari-cari keberadaan Ibu dan Nenek. Aku terus mencari sampai ada seorang suster yang menawarkan bantuannya kepadaku, aku pun langsung memberi tahu apa yang kucari dan ia langsung menunjuk sebuah ruang yang berada tak jauh dari tempatku berdiri sekarang.

“Ibu, Nenek kena-” Ucapanku terhenti begitu saja ketika aku membuka pintu ruangan itu dan melihat Ibu dengan wajah yang dihiasi air mata kini berdiri disamping tempat tidur yang ditiduri oleh seseorang. Seluruh tubuh orang itu diselimuti dengan selimut berwarna putih yang membuatku tak dapat melihat wajah orang itu. Tapi dengan melihat keadaan ibu yang sekarang aku dapat menebak seseorang yang ada di balik selimut tersebut. Aku melangkah mendekati tempat tidur itu, aku ingin membuktikan bahwa tebakanku itu salah. Ketika aku sudah berada di samping tempat tidur, tanganku perlahan membuka selimut yang menutupi wajah orang itu. Tubuhku langsung lemas ketika melihat wajah di balik selimut itu, tebakanku benar, dia Nenek.

“Nenek... Nenek bangun, Nenek harus tunggu sampe uang Retno kekumpul dulu biar Nenek bisa operasi, Nenek ga boleh pergi dulu.” Mataku memanas, air mataku tumpah ke wajahku yang kotor ini. Aku memeluk tubuhnya, tubuhnya kini kaku dan dingin sedingin es. Ia diam bagaikan patung, ia sama sekali tidak menanggapi ucapanku tadi. Tuhan kenapa kau ambil dia secepat ini?

            “Permisi Bu, maaf mayat Ibu ini harus segera dipindahkan dulu ke ruangan mayat karena ruangan ini akan segera dipakai pasien lain.” Dua orang laki-laki tiba-tiba masuk ke ruangan itu. Mereka menggunakan baju berwarna putih, sepertinya mereka adalah pegawai rumah sakit ini.

            “Baiklah.” Ibu menghapus air matanya dan langsung menghampiriku. Ia menarikku ke dalam pelukannya untuk menjauh dari nenek, aku meronta-ronta. Tapi dengan cepat ibu memelukku supaya aku tenang.

“Lepasin Nenek aku! Jangan bawa dia pergi!” Aku berteriak sekencang-kencangnya saat melihat dua orang laki-laki yang mengenakan baju putih itu membawa Nenekku pergi menjauh dariku. Ibuku dengan wajah yang kini sudah dihiasi dengan butiran-butiran kristal yang jatuh dari matanya itu berusaha memelukku. Ia memeluk tubuhku sangat erat, berusaha menahanku yang kini sudah meronta-ronta untuk dilepaskan. Aku ingin mengejar orang-orang itu, aku tidak ingin orang-orang itu mengambil Nenekku. Tapi sepertinya usahaku sia-sia, Ibu tidak juga melepaskan pelukannya dan orang-orang itu pun sudah tidak terlihat. Aku menyerah, kini aku hanya bisa terdiam di pelukkan Ibuku dengan air mata yang memenuhi wajahku yang penuh dengan tanah dan lumpur.

 “Ikhlasin nenek pergi ya nak”
***
           
            Kutaburkan bunga-bunga yang harumnya semerbak memenuhi udara di sekelilingku sambil tersenyum sedih mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Kejadian dimana aku kehilangan Nenek, salah satu orang yang sangat berharga di hidupku. Aku masih ingat wajahnya, senyumnya, dan cara ia berbicara. Terakhir, kuambil air dalam botol dan ku tuangkan seluruh isinya pada gundukan tanah didepanku ini. Aku sadar raganya memang telah pergi dariku, namun aku tahu ia selalu menemaniku hingga sekarang karena ia sayang padaku. Ya, ia sangat menyayangiku. Dan akupun begitu menyayanginya. Kutinggalkan makam itu dengan senyuman. Langkahku kini tak lagi gontai seperti dulu ketika pertama kalinya ku tinggalkan makam ini. “Kau akan selalu berada dihati dan jiwaku, Nek” senyumku semakin mengembang, “Dulu dan kini.”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar