“Lepasin Nenek aku! Jangan bawa dia
pergi!” Aku berteriak sekencang-kencangnya ketika melihat dua orang laki-laki
yang mengenakan baju putih itu membawa Nenekku pergi menjauh dariku. Ibuku
dengan wajah yang kini sudah dihiasi dengan butiran-butiran kristal yang jatuh
dari matanya itu berusaha memelukku. Ia memeluk tubuhku sangat erat, berusaha
menahanku yang kini sudah meronta-ronta untuk dilepaskan. Aku ingin mengejar
orang-orang itu, aku tidak ingin orang-orang itu mengambil Nenekku. Tapi
sepertinya usahaku sia-sia, Ibu tidak juga melepaskan pelukannya dan orang-orang
itu pun sudah tidak terlihat. Aku menyerah, kini aku hanya bisa terdiam di
pelukkan Ibuku dengan air mata yang memenuhi wajahku yang penuh dengan tanah
dan lumpur.
***
“Neneeeeeeek..” Aku memanggil Nenekku begitu
memasuki rumah sederhana ini. Cat dinding berwarna putih yang sudah mengelupas
itu menandakan bahwa rumah ini sudah berumur tua, mungkin lebih dari umur Nenek
karena bukan hanya catnya saja tetapi kayu-kayu yang dulunya kokoh menahan
rumah ini sudah mulai lapuk. Suara hujan dan petir yang menggelegar seakan
menyambutku pulang. Aku menaruh payung merah yang tadinya ada di tanganku ke
atas meja lalu aku pun menghampiri Nenekku.
“Akhirnya kamu pulang juga Ret, kamu
ga kehujanan kan?” Perempuan berambut putih itu bertanya padaku, rambutnya yang
berwarna putih itu ia ikat menjadi konde. Ia kini mengenakan kebaya sederhana
berwarna biru serta kain batik dengan warna senada. Kebaya yang ia kenakan
membuatnya tampak lebih cantik menurutku. Ia kini sedang duduk di lantai yang
beralaskan tikar sambil melipat baju-baju tetangga yang baru saja diangkat oleh Ibu dari jemuran.
“hmm..i..iya kok Nek, Retno ga
kehujanan” Aku menjawab gugup, aku berbohong. Badanku kini basah kuyup, baju
yang semula kering ketika aku berangkat kini telah menjadi basah karena air-air
yang turun dari langit itu. Perlahan Nenek mendekat ke arahku yang sekarang
masih berdiri di dekatnya, ia berdiri begitu saja dan meninggalkan cucian yang
sedari tadi sedang ia lipat. Tangannya menggapai-gapai, berusaha memegang
wajahku yang sudah berada dekat dengannya. Pada akhirnya aku pun menuntun
tangannya untuk menggapai wajahku karena ia tidak kunjung sampai menggapainya.
Tanganku yang basah dan dingin pun merasakan tangannya yang hangat, entah
hangat karna apa, yang penting aku sangat nyaman dengan kehangatan itu.
“Kenapa kamu bohong Ret?” Ia bertanya
ketika ia sudah berhasil menyentuh wajahku yang kini dingin dan basah. Tangannya
yang hangat itu berusaha mengeringkan wajahku dengan kebaya yang sedang ia
pakai, aku hanya bisa terdiam, aku bingung harus menjawab apa.
“Ret, kamu dengar Nenek kan? Kamu bawa
payung kan tadi?”
“Maafin Retno nek, Retno memang bawa
payung, tapi payung itu Retno buat mengantarkan orang-orang yang kehujanan di
luar sana.” Aku menjawab seadanya, aku memang memakai payung itu untuk ‘ojek
payung’ tadi, jadi tentu saja aku tetap basah walaupun tadi aku membawa payung
merah tadi.
“Jadi tadi kamu jadi ojek payung
lagi?”
“Iya Nek tadi Retno ngojek payung lagi.”
Akhirnya aku pun mengaku padanya. Aku menunduk, entah mengapa aku tidak berani
menatap kedua matanya itu walaupun aku tau kini kedua mata itu sudah tidak
dapat melihatku seperti dahulu lagi. Hati kecilku berbisik, Nenek tetap dapat
melihatku walaupun matanya kini sudah tidak dapat berfungsi seperti dulu lagi.
Pikiran-pikiran buruk langsung berputar di otakku, aku takut Nenek akan marah
padaku karena beberapa hari yang lalu ia sudah melarangku untuk melakukan hal
ini, tapi nyatanya sekarang aku malah melakukannya lagi.
“Ret, Nenek kan sudah bilang kamu
jangan jadi ojek payung lagi. Nenek khawatir kamu sakit.” Di luar dugaanku, ia
sekarang malah mengelus rambutku dan berbicara dengan nada bicara yang lembut,
tidak sama sekali ada nada marah terdengar dari ucapannya itu.
“Tapi nek aku kan ingin mengumpulkan
uang untuk operasi mata Nenek, aku ingin Nenek bisa melihat lagi seperti dulu.“
Ya, satu-satunya alasanku ojek payung
adalah untuk mengumpulkan uang operasi mata Nenek. Nenek terkena katarak
semenjak 3 tahun yang lalu, karena penyakitnya itulah ia kini tidak dapat melihat.
Awalnya aku tidak tau Nenek ingin bisa melihat kembali seperti dulu sampai
seminggu yang lalu ketika kami sedang mengobrol berdua Nenek tiba-tiba berkata,
“Pasti sekarang kamu sudah tambah cantik ya Ret, coba aja Nenek bisa melihat
lagi”. Ia berkata demikian sambil meraba-raba wajahku, sejak itulah aku mulai
berpikir untuk mengumpulkan uang untuk operasi mata Nenek. Awalnya aku sempat
bingung bagaimana aku bisa mendapatkan uang itu, aku hanyalah gadis kecil
berumur 11 tahun yang tidak bisa apa-apa. Tapi akhirnya aku mendapatkan ide
untuk mengojek payung saat aku melihat hujan. Aku tau memang pasti akan
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengumpulkan uang itu. Tapi aku janji
aku akan terus berusaha sampai aku berhasil mengumpulkan semua uang itu.
“Retno, Nenek sudah bersyukur kok dengan
keadaan Nenek yang sekarang, jadi kamu tidak usah ojek payung lagi ya, Nenek
tidak mau melihat kamu sakit Ret.”
“Retno ga bakalan sakit kok Nek, Retno
kan anak yang kuat.” Aku tersenyum sangat lebar walaupun aku tau nenek tidak
dapat melihat senyumku itu.
“Haha dasar kamu ini, baiklah tapi
uang yang kamu kumpulkan itu lebih baik kamu gunakan untuk biaya sekolah kamu
saja Ret. Kamu kan dulu pernah bilang pada Nenek kalo kamu ingin sekali sek-
uhukuhukuhuk”
“Nenek? Nenek kenapa? Ibuuuuuuuuu!” Aku
teriak memanggil Ibu, aku khawatir karena tiba-tiba saja Nenek batuk dengan
sangat kencang. Aku mengelus pundak Nenek, mungkin saja ini bisa mengurangi
batuknya pikirku. Kini aku menatap wajah Nenek yang sedikit memerah karena batuk
tadi, aku baru sadar wajah Nenek sekarang lebih atau bisa dibilang sangat pucat
daripada yang biasanya, bibirnya kini malah berwarna putih bukan merah.
“Nenek kenapa Ret?” Dengan celemek yang
masih menempel di bajunya Ibu menghampiriku dan Nenek, dari wajahnya ia
terlihat sangat khawatir tapi ia berusaha untuk tetap tenang di hadapanku.
Sebelum sempat aku menjawab pertanyaannya, ia langsung memapah Nenek ke kamar
tidur Nenek.
***
“Ibu aku berangkat dulu ya.”
Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini
aku juga akan mengojek payung. Aku tahu, Nenek dan juga Ibu telah beberapa kali
melarangku melakukan hal ini tapi aku akan tetap terus melakukan hal ini sampai
uang untuk operasi Nenek itu terkumpul semua. Dengan payung di tangan kiriku
aku berpamitan pada wanita paruh baya yang sedang mencuci itu. Tangannya basah
oleh air dan busa dari cucian baju yang sedang dicucinya itu. Baju-baju itu
bukanlah baju Ibu, Nenek, ataupun aku, baju-baju itu adalah baju-baju tetangga
kami yang dicuci oleh Ibu untuk mendapatkan uang. Ketika aku datang, ia langsung
mengeringkan tangannya ke baju warna merah yang sudah lusuh yang kini sedang dipakainya.
Lalu ia pun merogoh saku celananya, mengeluarkan beberapa lembar seribuan dari
sakunya.
“Ini nak buat kamu jajan.”
“Tidak usah Bu, aku kan cuma main
tidak jajan. Oh iya Bu keadaan Nenek sekarang bagaimana?” Aku menolak uang itu
dan langsung menanyakan keadaan Nenek. Aku khawatir, semalam saat aku terbangun
aku mendengar suara batuk Nenek. Rasanya aku ingin mengecek keadaan Nenek, tapi
jujur saja aku tidak berani keluar dari kamarku sendiri saat lampu-lampu sudah
padam.
“Nenek tidak apa-apa kok, sekarang
nenek masih tidur dikamar.” Uang itupun dimasukkannya kembali ke dalam saku
celana. Setelah itu aku pun langsung mencium tangannya yang bau akan sabun cuci
lalu bergegas pergi meninggalkannya dengan payung yang masih berada di
genggamanku.
Sebelum benar-benar pergi aku sempatkan
waktu sebentar untuk melihat Nenek di kamarnya. Aku buka perlahan pintu
berwarna coklat yang sudah penuh akan coret-coretan yang aku buat ketika aku
berumur lima tahun. Terlihatlah Nenek sedang tertidur di tempat tidurnya.
Dengan selimut yang menutupi tubuhnya ia tertidur sangat nyenyak. Rambut putih
yang biasanya selalu ia konde, sekarang digerai. Matanya pun tertutup sangat
erat seakan-akan tidak akan pernah terbuka lagi. Kucium pipinya, dingin. Tidak
seperti biasanya pipi itu dingin, biasanya pipi itu sangatlah hangat ketika
kucium.
***
Aku berlari sekencang-kencangnya,
tidak peduli akan hujan yang kini seakan sedang menyerangku dengan air-airnya
yang dingin dan menusuk kulitku, aku tetap menerobos hujan tanpa payung ataupun
jas hujan. Yang aku pedulikan kini hanya satu, Nenek. Sudah berulang kali pula aku
jatuh, tapi aku langsung bangkit kembali, tidak peduli dengan wajahku yang kini
dihiasi dengan tanah dan bajuku yang sangat kotor dan basah.
Begitu pulang habis ojek payung tadi
aku mendapati rumahku kosong dengan pintu yang terbuka lebar. Aku pun bingung,
aku masuk ke dalam rumah dan langsung berteriak-teriak memanggil Ibu serta Nenek.
Tapi tetap saja hanya kesunyian yang menjawab teriakanku tadi. Aku pun akhirnya
lelah dan menyerah, aku duduk di lantai dengan nafas yang terengah-engah. Diam
masih menyelimutiku sampai seseorang memanggil namaku dan menghampiriku, ia
berkata Ibu sedang membawa Nenek ke rumah sakit karena tadi Nenek tidak
sadarkan diri.
Disinilah aku sekarang berdiri, di
rumah sakit tempat Ibu dan Nenek berada. Dengan baju dan wajah yang basah serta
dipenuhi dengan tanah aku mencari-cari keberadaan Ibu dan Nenek. Aku terus
mencari sampai ada seorang suster yang menawarkan bantuannya kepadaku, aku pun
langsung memberi tahu apa yang kucari dan ia langsung menunjuk sebuah ruang
yang berada tak jauh dari tempatku berdiri sekarang.
“Ibu, Nenek kena-” Ucapanku terhenti
begitu saja ketika aku membuka pintu ruangan itu dan melihat Ibu dengan wajah
yang dihiasi air mata kini berdiri disamping tempat tidur yang ditiduri oleh
seseorang. Seluruh tubuh orang itu diselimuti dengan selimut berwarna putih
yang membuatku tak dapat melihat wajah orang itu. Tapi dengan melihat keadaan
ibu yang sekarang aku dapat menebak seseorang yang ada di balik selimut
tersebut. Aku melangkah mendekati tempat tidur itu, aku ingin membuktikan bahwa
tebakanku itu salah. Ketika aku sudah berada di samping tempat tidur, tanganku
perlahan membuka selimut yang menutupi wajah orang itu. Tubuhku langsung lemas
ketika melihat wajah di balik selimut itu, tebakanku benar, dia Nenek.
“Nenek... Nenek bangun, Nenek harus
tunggu sampe uang Retno kekumpul dulu biar Nenek bisa operasi, Nenek ga boleh
pergi dulu.” Mataku memanas, air mataku tumpah ke wajahku yang kotor ini. Aku
memeluk tubuhnya, tubuhnya kini kaku dan dingin sedingin es. Ia diam bagaikan
patung, ia sama sekali tidak menanggapi ucapanku tadi. Tuhan kenapa kau ambil
dia secepat ini?
“Permisi Bu, maaf mayat Ibu ini
harus segera dipindahkan dulu ke ruangan mayat karena ruangan ini akan segera
dipakai pasien lain.” Dua orang laki-laki tiba-tiba masuk ke ruangan itu.
Mereka menggunakan baju berwarna putih, sepertinya mereka adalah pegawai rumah
sakit ini.
“Baiklah.” Ibu menghapus air matanya
dan langsung menghampiriku. Ia menarikku ke dalam pelukannya untuk menjauh dari
nenek, aku meronta-ronta. Tapi dengan cepat ibu memelukku supaya aku tenang.
“Lepasin Nenek aku! Jangan bawa dia
pergi!” Aku berteriak sekencang-kencangnya saat melihat dua orang laki-laki
yang mengenakan baju putih itu membawa Nenekku pergi menjauh dariku. Ibuku
dengan wajah yang kini sudah dihiasi dengan butiran-butiran kristal yang jatuh
dari matanya itu berusaha memelukku. Ia memeluk tubuhku sangat erat, berusaha
menahanku yang kini sudah meronta-ronta untuk dilepaskan. Aku ingin mengejar
orang-orang itu, aku tidak ingin orang-orang itu mengambil Nenekku. Tapi
sepertinya usahaku sia-sia, Ibu tidak juga melepaskan pelukannya dan
orang-orang itu pun sudah tidak terlihat. Aku menyerah, kini aku hanya bisa
terdiam di pelukkan Ibuku dengan air mata yang memenuhi wajahku yang penuh
dengan tanah dan lumpur.
“Ikhlasin nenek pergi ya nak”
***
Kutaburkan bunga-bunga yang harumnya
semerbak memenuhi udara di sekelilingku sambil tersenyum sedih mengingat
kejadian beberapa tahun lalu. Kejadian dimana aku kehilangan Nenek, salah satu
orang yang sangat berharga di hidupku. Aku masih ingat wajahnya, senyumnya, dan
cara ia berbicara. Terakhir, kuambil air dalam botol dan ku tuangkan seluruh
isinya pada gundukan tanah didepanku ini. Aku sadar raganya memang telah pergi
dariku, namun aku tahu ia selalu menemaniku hingga sekarang karena ia sayang
padaku. Ya, ia sangat menyayangiku. Dan akupun begitu menyayanginya.
Kutinggalkan makam itu dengan senyuman. Langkahku kini tak lagi gontai seperti
dulu ketika pertama kalinya ku tinggalkan makam ini. “Kau akan selalu berada
dihati dan jiwaku, Nek” senyumku semakin mengembang, “Dulu dan kini.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar